Kamis, 02 November 2017

Romantika Revolusi menurut Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno


Romantika Revolusi menurut Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno 

     Menurut Bung Karno, romantik revolusi merupakan rantai kejadian-kejadian memukul dan dipukul, menjebol dan membangun –berganti-gantian yang ini semua harus dirasakan sebagai irama romantiknya Revolusi. Rasa romantik-perjuangan adalah sumber kekuatan abadi daripada Perjuangan. Kekuatan abadi ini yang akan memberikan pengertian kepada perlunya dinamikanya dan dialektikannya Revolusi. Revolusi adalah suatu proses panjang yang dinamis (artinya: bergerak), dengan segala pukul dan dipukulnya, tetapi terus naik (inilah dialektika). Tanpa romantik, revolusi tidak akan tahan. Tanpa dinamik, revolusi akan mandek di tengah jalan. Tanpa dialektik yang bersambung kepada angan-angan seluruh rakyat, revolusi akan pelan-pelan ambles dalam padang pasirnya kemasa-bodohan.

   Romantika revolusi adalah energi hidup, atau elan vital bangsa yang akan memberikan daya tahan perjuangan. Kalau kita perhatikan, romantika revolusi inilah yang paling tertekan dalam era yang sudah sangat diwarnai dengan ‘logika waktu pendek’ sekarang ini. Kemajuan di bidang komunikasi membuat informasi hadir-lenyap dalam waktu yang singkat dengan kedalaman yang superfisial. Merebaknya tumpang-tindih, kerlap-kerlip informasi yang berjalan sangat cepat ini membuat elan vital bangsa mudah jatuh ke dalam derita vertigo bangsa. Modus pengejaran kesejahteraan-pun juga naik-turun dalam waktu singkat yang ini sangat nampak dalam aktifitas spekulasi di lantai-lantai perdagangan saham dan keuangan. Daya tahan dalam memukul-dipukul menjadi begitu pendek umurnya, paling tidak –suka atau tidak, seperti yang digambarkan oleh Sukardi Rinakit sebagai masyarakat melodramatik: yang mudah kasihan, mudah lupa dan mudah bosan.
  Maka ketika romantika yang merupakan kekuatan abadi yang akan memberikan pengertian akan perlunya dinamika dan dialektika revolusi menjadi begitu rapuhnya, dapat dipastikan dinamik dan dialektika akan berjalan tersendat-sendat. Daya tahan, stamina perjuangan ini juga tergerus dengan begitu merasuknya budaya konsumerisme dalam perjuangan, sehingga slogan-pun kemudian menjadi: aku menikmati, maka aku ada. Daya tahan, stamina perjuangan langsung bisa begitu melorotnya ketika bayang-bayang tidak dapat menikmati hasil perjuangan menjadi begitu mengganggu eksistensi diri. Mungkin frase kata “aku menikmati, maka aku ada” terasa wajar dalam ranah konsumerisme yang sudah begitu mendalam seperti sekarang ini, tetapi coba bayangkan ketika pergerakan perjuangan kemerdekaan diletakkan dalam tarikan nafas seperti ini, akankah muncul pahlawan-pahlawan bangsa yang gugur di medan perang? Yang akan mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan yang mungkin saja dia tidak bisa menikmatinya karena nyawa meregang di ujung bayonet penjajah?
    Cita-cita Proklamasi sekarang ini menghadapi tantangan yang tidak kalah ganasnya dengan ketika cita-cita kemerdekaan diperjuangkan oleh para pendahulu-pendahulu kita. Tantangan itu adalah dari dalam bangsa sendiri, yaitu bercokolnya di puncak pakta dominasi, berkuasanya senyawa oligarki politik-pemburu rente atas NKRI ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar