Minggu, 05 November 2017

Muntahan Marhaenis Millenial



Muntahan Marhaenis Millenial

Aku tidak menulis, aku muntah. Karena muak dengan penindasan. Caci maki kaum hartawan. Dan perilaku menyimpang yang di anggap wajar simpatisannya. Yang mengeluh-eluhkan perjuangan nya, si pencoleng kekayaan Negara.

Kepandaian harusnya memancarkan keindahan, seperti mata air yang menyuburkan padi- padi disawah. Tapi disini tidak. Kepandaian laksana api unggun, yang membakar pantat kuali sampai hangus. Membikin air di dalamnya jadi menggelodok. Menguapkan air pada tutup panci. Yang meneteskan air mata.

Seorang berdiri disini, dengan mata kosong tapi mengandung makna, di temani orang- orang dengan pandangan mata menyala. Sambil menganyunkan pena, keyboard, atau apa saja yang dapat di jadikan senjata. Laksana pedang memusuk-nusuk dada mereka. Yang dadanya telah kebal. Telinganya tuli, dan mulutnya membisu.



Melesat bersama Garuda



Melesat bersama Garuda

Burung garuda terbang melayang- layang. Melesatkan asa dan mimpi dari anak- anak buruh dan petani. Jiwa- jiwa yang berkobar menjemput kemenangan, di ujung jalam gelap, sempit dan penuh bebatuan.

Aku berjalan seorang diri, mencari kawan seperjuangan. Demi menaklukan penindasan. Tapi apa daya ku, di setap aku berlari, cipratan lumpur tetap saja mengenai ku. Hingga tak seorang pun mau mendekati ku karna bau.

Ya... bau lumpur yang menghujam hidup mereka yang berkecukupan bahkan berlebihan. Begitu sensitifnya, bahkan bila tercium dalam jarak 1000 kilo meter. Mereka akan cepat- cepat belok membalik arah. Atau lebih memilih terbang menaiki burung besi. Dan dari atas dapat mengutuki bau lumpur yang ada di bawahnya. Meski sesekali juga melemparkan makanan dari ketinggian.

Tapi kami tak pernah berputus asa, walau berkali- kali hati terkoyak- koyak. Mau tak mau kami harus tetap berjalan. Burung garuda yang terbang tinggi
Turunlah sejenak dan bawalah kami.
Bersihkan diri dengan hujan kasih. Agar kelak keadilan dan kemakmuran bukan lagi menjadi sebuah mimpi.

Jumat, 03 November 2017

Dahulu Islam datang mengakhiri zaman perbudakan, Bagaimana sekarang ??



Dahulu Islam datang mengakhiri zaman perbudakan, Bagaimana sekarang ??


Di ceritakan sejak kecil oleh para orang tua, pun oleh para penyuluh Agama. Bahwa suatu hari seorang budak bernama Bilal sedang disiksa oleh tuannya, karena ketahuan memeluk Agama Islam. Ketika itu seorang sahabat nabi yang sangat terkenal lagi pula kaya melihat penyiksaan itu. Tak tahan melihatnya, Abu Bakar bersuara agar penyiksaan itu di hentikan. Singkat cerita Abu Bakar membeli budak tersebut dan lalu memerdekakannya.

Mendengar cerita tersebut, menyimpulkan bahwa sejak awal kedatangannya Islam telah memiliki visi bagi kemerdekaan kaum yang Marhaen yang tertindas. Atau dalam hal ini di sebut budak.

Tentu ada banyak lagi budak- budak yang dimerdekakan oleh para pemimpin dan pejuang Islam. Yang tidak dapat kita uraikan satu persatu.

Bagaimanakah dengan realita orang-orang Islam sekarang ??  Menurut yang kita ketahui bersama ada cukup banyak kaum Islam yang perduli dan mau merangkaul kaum Marhaen. Akan tetapi tak sedikit pula yang bersikap acuh- tak acuh akan hal ini. Bahkan ada pula kaum Islam yang menindas kaum Marhaen. Entah di sengaja atau tidak. Entah oleh pengikut Islam yang taat maupun yang tidak.

Sebagai contoh ;

Ada seorang/oknum kaum Islam menjadi seorang developer properti. Mempekerjakan sekitar 7 orang pekerja untuk membangun rumah- rumah yang kelak akan di jual. Awalnya developer tersebut menjanjikan ragam fasilitas kepada pekerja yang berasal dari luar pulau tersebut. Antara lain fasilitas motor untuk kesana-kemari, tapi sampai sekang belum terealisasikan.
Sudah sekitar 5 tahunan semua itu berjalan,dan apa hasilnya ?

Sang developer yang juga seorang pak haji itu dapat membeli 2 buah mobil dengan kisaran harga 600jt. Salah seorang anak nya yang menjadi bagian administrasi dari proyek tersebut pun mendapatkan 1 buah mobil. Dan seorang lagi yang bertindak sebagai sub kontraktor dapat memiliki 2 buah rumah. Ini hanya hasil yang dapat di lihat dengan jelas lagi terang.

Lalu bagaimana dengan nasib para pekerja itu ?
Ya seperti biasa hasil yang mereka dapatkan hanyalah cukup buat makan, dan kebutuhan hidup lainnya. Alhamdulillah, ini sudah cukup baik daripada kondisi saudara- saudara kita yang lainnya. Yang untuk makanpun begitu sulit.

Namun, jika di tinjau dari rasa keadilan dan prikemanusian. Ini adalah benar- tidak adil. Lebih- lebih lagi, jika di tinjau dari sisi Agama. Ini adalah kezoliman yang lumayan menyedihkan. Hal ini seakan- akan mengikat si pekerja untuk selamanya menjadi miskin dan menjadi kacung si kaya.

Pertanyaannya, bagaimana bisa seorang yang di panggil pak haji, melakukan penindasan dan kezoliman yang cukup memilukan ini ? Pada para perkerja yang lemah dari segi ekonomi, maupun dari segi ilmu. Apakah faktor yang menjadikan kondisi ini masih ada hingga sekarang ?. Padahal sejak awal kedatangannya Islam telah memiliki visi untuk membebaskan para kaum Marhaen dari belenggu perbudakan.

Jika di tinjau lebih jauh, ada 2 faktor mengapa hal ini terjadi ;

1. Ketidak pekaan seorang kaya pada kaum Marhaen. Hal ini lumrah terjadi, umumnya sifat manusia adalah kurang perduli keadaan orang lain. Dan ini bisa menjangkiti siapa saja termasuk pak haji tadi.

2. Kurangnya pengetahuan atau bahkan anti pada segala faham kiri terutama sosialisme. Mereka menjauhi semua itu karena menganggap hal tersebut terlarang. Terutamanya di Indonesia. Ini antara lain adalah hasil dari propaganda pemerintahan Orde Baru yang anti kritik dan otoriter.

Mungkin ada banyak lagi faktor yang menyebabkan penindasan tersebut masih terjadi hingga sekarang. Yang tidak/ belum bisa kami uraikan di sini.
Disisi lain, masih ada pula kaum Islam yang mau perduli dan merangkul massa Marhaen.
Walau mungkin jumlahnya tidak/belum terlalu banyak. Ini terbukti dari masih banyaknya kaum Marhaen yang terhimpit oleh keadaan, tenggelam dalam kemiskinan.

Inilah kiranya yang masih menjadi PR besar bagi Kaum Marhaenis dan Kaum Islam serta para orang berfikir lainnya. Yang sama- sama memiliki visi untuk menghilangkan perbudakan dari muka bumi ini.
Menjalankan semua ini adalah kewajiban suci bagi seorang manusia yang ingin berbakti kepada Tuhannya.
Saling bertengakar adu ideologi bukanlah satu solusi. Melainkan hanya memperkeruh keadaan. Berbuat sesuatu adalah keniscayaan bagi aktivis sejati.

Terima kasih.

Kamis, 02 November 2017

Apa, mengapa, dan siapa itu kaum Marhaen ??



Apa, mengapa, dan siapa itu kaum Marhaen ??

Di jaman sekarang ini, persaingan sudah semakin ketat. Pun kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Ketimpangan sosialpun merupakan sesuatu kelaziman yang terjadi, akibat dari penumpukan harta oleh pihak- pihak pemenang. 

Para pemenang dalam persaingan ini umumnya juga berasal dari orang kecil. Yang berjuang keras hingga mendaptkan hasil yg di inginkan. Lalu, bagaimanakah dengan mereka yang kalah dalam pergulatan ?? Biasanya, mereka terlempar ke jalan- jalan penuh bebatuan. Mereka menjadi orang- orang yang di kecilkan, dan terpuruk dalam lubang kemiskinan. 

Sekilas, persaingan itu adalah sesuatu yang biasa di dalam kehidupan. Hal itu adalah lumrah terjadi antar manusia. Terlebih bagi meraka yang menyetujui faham Adam Smith bahwa hakikat manusia adalah serakah dan egoistis.

Kembali ketopik pembicaraan mengenai Marhaen (orang kecil). Meski sekilas persaingan adalah hal yang wajar bagi sebagian kita. Namun ada juga yang berpendapat bahwa ada kejanggalan dalam sistem persaingan yang ada saat ini. Dimana, seorang yang kaya raya, akan terus kaya sampai beberapa generasi selama generasi tersebut masih dapat mengelolah kapitalnya (modal) dengan baik bahkan lebih baik. Begitu pula bagi si miskin yang tidak memiliki modal. Mereka akan terus terhimpit kesengsaraan demi kesengsaraan entah sampai kapan. 

Lalu pertanyaan selanjutnya, mengapa kaum miskin sulit terlepas dari kemiskinannya ?.
Sejauh yang kita ketahui bersama , kaum kapital lekas kaya di karenakan memiliki modal untuk membiayai suatu produksi yang akan mendapatkan keuntungan yang besar ketika di jual ke pasar. Nah, keuntungan yang besar ini lah yang tidak di bagikan secara adil oleh para pemilik modal. Mereka yang tidak memiliki modal, namun mengerjakan suatu produksi hanya akan di berikan upah maksimal yang hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari- hari bahkan beberapa orang mungkin tak mampu mencukupi kebutuhan hidup tersebut. 
Hal inilah yang membuat pemilik modal jadi semakin kaya. Dan si miskin akan tetap pada kemiskinannya. 

Lalu bagaimana dengan kaum tani dan pengusaha kecil lainnya ?? Mereka ini sedikit berbeda dengan kaum Marhaen pekerja seperti yang di sebutkan sebelumnya. Kaum tani dan pengusaha kecil ini memiliki modal pula dalam jumlah yang kecil. Namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan akan bangkrut juga jika tidak benar- benar menjaga modal. Kaum Marhaen yang seperti ini lah yang menurut Bung Karno paling banyak dan paling relevan di Indonesia. Saat itu, lebih- lebih saat ini. Meskipun jumlah Marhaen pekerja juga meningkat sampai dengan sekarng.

Lalu apakah suatu inisiatif atau gagasan untuk bisa melepaskan diri dari cengkraman para pemilik modal itu. Dan bahkan pula kita dapat menjadi pemilik modal yang tidak menindas para Marhaen pekerja. Dan tidak pula menendang atau mengesampingkan Marhaen kaum tani dan pengusaha kecil ?
Bahkan merangkul dan memerdekakan mereka.

Antara lain ada 2 macam jalan yang sudah kita ketahui bersama ;

1. Merebut kekuasaan politik (lewat jalan konstitusional) agar dapat menerapkan kebijakan-kebijakan dan menolong kaum marhaen.

2. Bersatu padu, bahu membahu, tolong menolong antara sesama Marhaen dan terutama sekali bagi kaum Marhaen yg telah berhasil memenangkan persaingan ini, agar minimal tidak mewarisi sistem lama yang mencekik kaum Marhaen.

Sekarang, apakah ada jalan lain jikalau kedua hal tersebut tidak dapat berjalan ? Tentu sudah kita ketahui bersama. Bahwa manusia- manusia yang telah memiliki jabatan ataupun kekayaan akan dengan mudah nya melupakan kaum Marhaen. Mereka lebih memilih menjadi borjuis nan hedonis. Disinilah peran agama di perlukan. Agama sebagai norma- norma kehidupan yang di buat Tuhan. Meskipun sering di gunakan oleh para kaki tangan kapitalis untuk melindungi kekayaannya. Pun agama juga dapat dan sesungguhnya memang tujuan agama adalah menimbulkan kesadaran manusia akan prikemanusiaan dan prikeadilan. 
Bahkan di Indonesia, suatu kelompok dari suatu Agama. Telahlah pula menyumbanhkan begitu besar jasanya bagi kaum Marhaen Indonesia. Dengan menyediakan wadah untuk mendidik massa Marhaen sehingga memiliki modal berbagai macam jenis ilmu dan keahlian agar kelak massa marhaen akan bisa berdikari ( berdiri diatas kaki sendiri). Hal demikian inilah antara lain yang dapat pula di terapkan dalam organisasi atau kelompok- kelompok yang mendasarkan pada ideologi marhaenisme ini. Meski di beberapa tempat hal ini sudah dapat di laksanakan. Tetapi hal ini masih perlu gencar lagi di lakukan. Mengingat jumlah kaum Marhaen yang tidak sedikit. 




Romantika Revolusi menurut Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno


Romantika Revolusi menurut Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno 

     Menurut Bung Karno, romantik revolusi merupakan rantai kejadian-kejadian memukul dan dipukul, menjebol dan membangun –berganti-gantian yang ini semua harus dirasakan sebagai irama romantiknya Revolusi. Rasa romantik-perjuangan adalah sumber kekuatan abadi daripada Perjuangan. Kekuatan abadi ini yang akan memberikan pengertian kepada perlunya dinamikanya dan dialektikannya Revolusi. Revolusi adalah suatu proses panjang yang dinamis (artinya: bergerak), dengan segala pukul dan dipukulnya, tetapi terus naik (inilah dialektika). Tanpa romantik, revolusi tidak akan tahan. Tanpa dinamik, revolusi akan mandek di tengah jalan. Tanpa dialektik yang bersambung kepada angan-angan seluruh rakyat, revolusi akan pelan-pelan ambles dalam padang pasirnya kemasa-bodohan.

   Romantika revolusi adalah energi hidup, atau elan vital bangsa yang akan memberikan daya tahan perjuangan. Kalau kita perhatikan, romantika revolusi inilah yang paling tertekan dalam era yang sudah sangat diwarnai dengan ‘logika waktu pendek’ sekarang ini. Kemajuan di bidang komunikasi membuat informasi hadir-lenyap dalam waktu yang singkat dengan kedalaman yang superfisial. Merebaknya tumpang-tindih, kerlap-kerlip informasi yang berjalan sangat cepat ini membuat elan vital bangsa mudah jatuh ke dalam derita vertigo bangsa. Modus pengejaran kesejahteraan-pun juga naik-turun dalam waktu singkat yang ini sangat nampak dalam aktifitas spekulasi di lantai-lantai perdagangan saham dan keuangan. Daya tahan dalam memukul-dipukul menjadi begitu pendek umurnya, paling tidak –suka atau tidak, seperti yang digambarkan oleh Sukardi Rinakit sebagai masyarakat melodramatik: yang mudah kasihan, mudah lupa dan mudah bosan.
  Maka ketika romantika yang merupakan kekuatan abadi yang akan memberikan pengertian akan perlunya dinamika dan dialektika revolusi menjadi begitu rapuhnya, dapat dipastikan dinamik dan dialektika akan berjalan tersendat-sendat. Daya tahan, stamina perjuangan ini juga tergerus dengan begitu merasuknya budaya konsumerisme dalam perjuangan, sehingga slogan-pun kemudian menjadi: aku menikmati, maka aku ada. Daya tahan, stamina perjuangan langsung bisa begitu melorotnya ketika bayang-bayang tidak dapat menikmati hasil perjuangan menjadi begitu mengganggu eksistensi diri. Mungkin frase kata “aku menikmati, maka aku ada” terasa wajar dalam ranah konsumerisme yang sudah begitu mendalam seperti sekarang ini, tetapi coba bayangkan ketika pergerakan perjuangan kemerdekaan diletakkan dalam tarikan nafas seperti ini, akankah muncul pahlawan-pahlawan bangsa yang gugur di medan perang? Yang akan mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan yang mungkin saja dia tidak bisa menikmatinya karena nyawa meregang di ujung bayonet penjajah?
    Cita-cita Proklamasi sekarang ini menghadapi tantangan yang tidak kalah ganasnya dengan ketika cita-cita kemerdekaan diperjuangkan oleh para pendahulu-pendahulu kita. Tantangan itu adalah dari dalam bangsa sendiri, yaitu bercokolnya di puncak pakta dominasi, berkuasanya senyawa oligarki politik-pemburu rente atas NKRI ini.


Selasa, 31 Oktober 2017

dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan



Undang- undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Pembukaan ;

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa, 
kemanusiaan yang adil dan beradab, 
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." 

Senin, 30 Oktober 2017

Mengenal faham Marhaenisme Bung Karno



Mengenal faham Marhaenisme Bung Karno

   Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Negara Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup Massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun (masih) tertindas. Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada seluruh golongan rakyat kecil yang dimaksud ialah petani dan buruh (proletar) yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa/Borjuis/Kapitalis.

   Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927. Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.

   Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.

   Dalam bukunya "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen pada masa Orde Baru, menyangsikan bahwa ada petani yang memiliki nama Marhaen, dan memberikan alternatif sumber lain dari nama tersebut, yaitu singkatan dari Marx-Hegel-Engels.

   Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa versi Bung Karno.

   Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.

   Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah kongkret betul.

   Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumber daya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.

   Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland yaitu hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McCleland lebih menekankan opsi pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional, maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.

   Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Sukarno tegas menyatakan, bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism dari Uni Soviet. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai '"The Third Way.