Selasa, 31 Oktober 2017

dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan



Undang- undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Pembukaan ;

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa, 
kemanusiaan yang adil dan beradab, 
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." 

Senin, 30 Oktober 2017

Mengenal faham Marhaenisme Bung Karno



Mengenal faham Marhaenisme Bung Karno

   Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Negara Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup Massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun (masih) tertindas. Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada seluruh golongan rakyat kecil yang dimaksud ialah petani dan buruh (proletar) yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa/Borjuis/Kapitalis.

   Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927. Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung, Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.

   Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.

   Dalam bukunya "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen pada masa Orde Baru, menyangsikan bahwa ada petani yang memiliki nama Marhaen, dan memberikan alternatif sumber lain dari nama tersebut, yaitu singkatan dari Marx-Hegel-Engels.

   Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa versi Bung Karno.

   Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.

   Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah kongkret betul.

   Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumber daya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.

   Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland yaitu hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McCleland lebih menekankan opsi pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional, maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.

   Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Sukarno tegas menyatakan, bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism dari Uni Soviet. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai '"The Third Way.

Minggu, 29 Oktober 2017

Do'a, Harapan dan Perjuangan Rakyat

Do'a, Harapan dan Perjuangan Rakyat

Sinar gemilang yang menyelinap kedalam hati, seakan mengisyaratkan kemenangan yang akan segera datang. Kekelaman penindasan seolah akan lenyap dari pandangan mata, tak lama lagi. Aku masih berharap disini, sambil berdo'a kepada Yang Maha Kuasa. Agar secepatnya membawaku kesudut lain kehidupan ini.

Sudut kecil dimana para gadis tak lagi harus menanggalkan pakaiannya, demi mencari kesenangan. Ibu-ibu tua tak lagi harus mengasuh bayi hasil dari bapak yang tak menginginkannya. Aku membayangkan sebuah negri...dimana kemakmuran dan keadilan dapat berjalan beriringan, kesenangan dan moralitas dan menjadi satu kesatuan.

Aku membayangkan sebuah negeri, yang kekayaannya dapat kita nikmati bersama. sebuah dunia baru, yang tanpa penindasan di dalamnya. Angin sepoi meniup ke arahku, menidurkan jiwa yang terluka oleh sombongnya dunia. Namun mimpi itu tetap menjadi perjuangan ku. Revolusi kita tak boleh berhenti disini, meski suara-suara kesinisan menyayat relung hati. Namun seyogyanyalah perubahan dilakukan, tanpa perlu memaksakan. Biarkan semuanya mengalir, sampai waktunya kan tiba. Rakyat pasti berjaya.

Revolusi ku, Revolusi mu, Revolusi kita menuju masyarakat yang Berdikari

Revolusi ku, Revolusi mu, Revolusi kita menuju masyarakat yang Berdikari

"Meski tak seorangpun mendukung revolusiku, tapi aku akan terus berjalan.
Memang demikian,ada sesuatu ketakutan di dalam diriku untuk menerjang arus yang teramat kencang. Namun itu tak menghalangi fikiran ku. Tuhan ku, engkau yang kutuju. Hanya dengan ridhoMu lah semua akan terlaksana, maka anugerahkanlah aku kekuatan agar dapat melalui semua ini."

Sejak pertama menjalani hidup ini, aku merasakan sesuatu keanehan yang sangat ketara. Dimana kebohongan adalah tanda kepandain, dan kejujuran sebagai tanda kebodohan. Hari berganti hari aku dipaksa menjalani, tanpa bisa memahami. Kaki dan tangan ku seakan terikat belenggu, sambil menanggung berat beban hidupku.

Aku tidak merdeka, kemerdekan yang selama ini di kumandangkan hanyalah suatu pertandaan dari awal sebuah perjuangan baru. Kesana kemari aku menyaksikan bagimana penindasan itu terjadi, tanpa seorangpun yang dapat membantu. Kami harus berjuang sendiri-sendiri, dengan semboyan memangsa atau di mangsa. Jiwaku berkali-kali berontak akan hal ini.
Tapi apa yang bisa ku perbuat hanyalah menggerutu, sampai akhirnya aku menemukan jalan baru. Yang ku harap dapat mengubah hidupku, dan dapat pula mengubah nasib orang-orang sepertiku. Kemandirian, ya hal demikianlah kiranya yang dapat memerdekan diri-diri kita dari penindasan. Dengan kemandirian kita kelak tak butuh lagi mengemis-ngemis pekerjaan pada kaum penindas, dan di harapkan pula bahwa masing-masing dari kita yang telah lama tertindas dan kini dapat lepas dari belenggu itu. Tidak lagi mewariskan hal tersebut kepada generasi selanjutnya. Kini, aku masih dalam perjuangan ku, masih dalam revolusi ku. Untuk mencapai jiwa yang berdikari, yang tak membutuhkan lagi belas kasihan dari kaum imperilism dan kaki tangannya yang berakhlak rendah itu.

Lalu apakah paham Marxisme-Leninisme adalah sebuah jawaban untuk masalah ini??

TIDAK!!!....Marxisme-Leninisme bukanlah lagi suatu jawaban, untuk melepaskan diri rakyat dari kesengsaraan. Justru marxisme-leninisme itu adalah alat yang di salah gunakan oleh para pemimpin diktator untuk mengeksploitasi rakyatnya.
Saya lebih memilih apa yang dirumuskan oleh bapak bangsa kita yaitu Marhaenisme, ya... ideologi yang di ramu oleh Bung Karno muda itu adalah paham yang cukup relevan untuk mengatasi segala kesengsaraan ini. Walau harus dengan sedikit perubahan mengingat keadaan zaman yang sedikit berbeda.

Selain itu ada hal lain yang juga masih cukup relevan untuk dijalankan di masa sekarang,yaitu mengenai rumusan Bung Karno tentang sosialisme Indonesia. Yang kerangkanya antara lain ; menuju masyarakat tanpa eksploitasi mengeksploitasi antar anak bangsa maupun antar bangsa kepada bangsa yang lainnya.

Seperti itulah kira-kira rumusan beliau yang saya fikir cocok dengan keaadaan yang terjadi, dan agaknya dapat menjadi jawaban dari segala persoalan yang saya dan kawan -kawan sebagai rakyat alami.
Sudah tentu ada ribuan bahkan jutaan hal lain yang dapat pula dipakai dalam memecahkan pesoalan-persoalan yang ada. Dan tidak sempat saya cantumkan disini.
Mungkin di lain kesempatan akan dapat saya tuangkan pada itulisan saya berikutnya.

Demikianlah tulisan singkat ini saya buat, agar supaya dapat bermanfaat. Terutama sekali bagi diri saya sendiri.